Peraturan KPU Berpotensi Batasi Keterwakilan Perempuan di Legislatif
May 9, 2023 2:30:00 pm, Produced By: Hadi Prayogo
Keterlibatan perempuan dalam anggota legeslatif masih sangat timpang dengan kaum laki-laki. Ketimpangan representasi gender ini juga terlihat masih sangat terbatasnya pejabat perempuan yang menempati posisi gubernur/bupati/walikota. Hal ini juga yang menyebabkan keadilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan nyata masih timpang secara luas.
Padahal peran politik perempuan sangat dibutuhkan dalam pembangunan nasional demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender pada berbagai bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Ini pulalah yang menjadi dinamika perdebatan mengenai keterwakilan perempuan menuju pemilu 2024.
Melansir dari BBC, para pegiat perempuan mengkritik mengenai peraturan terbaru Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif. Disebutkan bahwa Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023 tersebut mengatakan hanya membuka ruang jumlah caleg perempuan di sejumlah daerah pemilihan kurang dari 30%. Ditakutkan aturan ini justru bisa mengurangi jumlah caleg perempuan untuk bersaing di pemilu 2024.
Padahal jelas, Undang-Undang Pemilu dalam 20 tahun terakhir memberikan syarat keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pencalonan DPR dan DPRD. Peraturan ini sama saja menjadi kemunduran bagi perpolitikan perempuan. Sebab, peran perempuan yang seharusnya ditambah dalam politik justru dieliminasi untuk mencalonkan diri.
Nantinya, hal ini bisa berdampak pada kemunduran peran perempuan dalam politik dan berbagai bidang.Aturan lainnya mengenai kemunduran perempuan dalam pemilu juga terkait Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang memberlakukan pembulatan ke bawah apabila perhitungan 30% keterwakilan perempuan dari total bakal caleg yang dibutuhkan memperoleh angka desimal kurang dari koma lima.
Misalnya, di suatu daerah pemilihan dibutuhkan 11 bakal caleg, maka 30% keterwakilan perempuan semestinya adalah 3,3 orang. Namun, dikarenakan angka desimalnya kurang dari koma lima, maka dapil tersebut hanya memenuhi syarat yaitu tiga bakal caleg perempuan. Ini berbeda dengan peraturan KPU sebelumnya yang memberlakukan pembulatan ke atas. Dalam kasus tadi, keterwakilan perempuan seharusnya bisa menjadi minimal empat orang.
Tentu saja angka tersebut mungkin terlihat kecil, tetapi coba kita pikirkan bahwa Indonesia memiliki banyak daerah yang membutuhkan keterwakilan perempuan di lembaga DPR provinsi hingga DPRD kabupaten/kota. Jumlahnya mungkin bisa mencapai puluhan hingga ratusan keterwakilan perempuan yang gagal atau tidak bisa menduduki kursi legislatif. Jika didiamkan, permasalahan ini nantinya bisa berdampak pada hilangnya hak politik perempuan.
Mengingat masih besarnya kendala yang dihadapi perempuan dalam perpolitikan di Indonesia. Dunia politik yang keras dan orientasinya pada kekuasaan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, seharusnya bukanlah penghalang bagi para perempuan untuk memasuki dunia politik. Politik juga bisa menjadi langkah awal bagi perempuan untuk meningkatkan kesetaraan gender dan keadilan yang merata.
Tentu saja, ketidakhadiran perempuan di dunia politik bukan hanya masalah gender, tapi juga kemanusiaan. Keterwakilan perempuan di parlemen sangat penting, karena perempuan tahu masalah yang mereka tarik dan suara mereka harus diperhitungkan dalam proses pembuatan kebijakan. Ini sejalan dengan fakta bahwa 50% dari populasi Indonesia adalah perempuan dan bahwa undang-undang konstitusi Indonesia menegaskan kesetaraan gender dalam penyebaran kuota kursi legislatif. Selain itu, kehadiran perempuan di arena politik tidak hanya memengaruhi aliran kebijakan di parlemen, tetapi juga memengaruhi pengambilan keputusan di bidang-bidang penting, seperti kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa perempuan memiliki tempat yang tepat dalam pengambilan keputusan politik di Indonesia.
Oleh karena itu, pentingnya parpol dan semua elemen masyarakat untuk turut serta menunjukkan keberpihakan para politisi perempuan mulai dari perekrutan, promosi hingga penempatan jabatan di sektor-sektor penting daerah atau pusat. Tentu saja, perempuan sendiri juga harus aktif dalam fungsi, tugas dan perannya yang sejajar dengan laki-laki di parpol dan lembaga-lembaga pemerintahan.