Perdebatan Antara PDIP Dan Demokrat Mengenai Sistem Pemilu Mulai Memanas

Perdebatan Antara PDIP Dan Demokrat Mengenai Sistem Pemilu Mulai Memanas

Sistem pemilu legislatif kembali diuji di Mahkamah Konstitusi, Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) saling menanggapi pernyataan (MK).

Awalnya, Presiden Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menulis surat pernyataan mempertanyakan perlunya uji coba sistem pemilu wajib (pileg) di Mahkamah Konstitusi saat tahapan pilkada dilanjutkan mulai 1 Juni 2022.

Pertanyaan SBY disampaikan kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang dinilai kontroversial. Pasalnya, pada masa pemerintahan SBY pada 2008 juga pernah terjadi gugatan terhadap sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi. Tujuannya adalah untuk memastikan para pemenang mendapatkan suara terbanyak, bukan calon yang berada di daftar teratas.

Dalam pengujian sistem pemilu 11 /PUU-XX/2022 yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi, PDI-P adalah satu-satunya partai di parlemen yang secara resmi mendukung sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup.

Hasto juga mencemooh SBY karena lupa bahwa judicial review serupa pernah dilakukan di tengah proses pemilu 2009. “Itu baru beberapa bulan, sekitar empat bulan sebelum pemilu dan seharusnya tidak ada perubahan,” ujar Hasto di Lebak, Banten, Minggu, 19 Februari 2023.

Hasto, sebaliknya, mengatakan uji materi adalah bagian dari rencana kemenangan jangka pendek Demokrat. Di sisi lain, Hasto tidak menyebut pada 2008, perwira PDI-P Sholeh juga terdaftar sebagai penggugat dan Mahfud menerima gugatannya.

Tergesa-gesa juga mengatakan bahwa SBY dan Demokrat berbohong untuk memenangkan pemilu 2009. “Dalam sistem multipartai, sebuah partai tidak dapat meningkatkan suaranya hingga 300 persen, dan itu tidak dapat dilakukan tanpa menggunakan banyak tipu muslihat. Dan bagian dari KPU tidak boleh partisan. Dan itu digunakan dan janjinya, akan digunakan untuk memimpin partai,” ujarnya.

Ia kembali menyatakan bahwa posisi PDI saat ini adalah sistem proporsional daftar calon terbuka membuat politik lebih transparan dan menjadikan pemilu sebagai hal terpenting dalam uang. Jadi itu menunjukkan bahwa proporsinya terkunci.

“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” ujarnya.

Komentar Hasto dari Partai Demokrat

Juru bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menanggapi dengan mengatakan bahwa Hasto sering melontarkan tuduhan yang tidak berdasarkan fakta atau informasi.

“Pertama, Hasto selalu mengatakan bahwa Pemilu 2009 saat Pak SBY berkuasa tidak adil. Bahkan, tidak diragukan lagi ada kecurangan Pemilu 2019. Pelakunya kadernya Hasto, bernama Harun Masiku, dan masih buronan sampai dengan saat ini. Sudah lebih dari 1.000 hari. Sedangkan Komisioner KPU terkait kasus ini sudah ditangkap dan dihukum. Apa kabar Harun Masiku, Hasto?” ungkap Herzaky dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/2/2023).

Herzaky tidak berhenti sampai di situ. Ia juga mengatakan bahwa ia takut karena sistem daftar proporsional ditutup, lebih banyak orang akan menyukai Harun Masiku.

Masiku mencalonkan diri karena diduga membayar petugas pemilu untuk mengubah Anggaran Dasar Anggota (PAW) DPR RI periode 2014 -2019.

Mantan anggota KPU Wahyu Setiawan divonis 6 tahun penjara, denda Rp 150 juta dan bulan kurungan. Agustiani Tio Fridelina (Bawaslu), mantan anggota Badan Pengawas Pemilu, divonis sama dengan Wahyu: tahun penjara dan denda yang sama.

“Komisaris KPK ditangkap setelah ditemukan dekat dengan orang-orang berkuasa seperti Hasto, tapi masih buron,” kata Herzaky.

Herzaky juga mencemooh Haston karena mengatakan pemilu 2009 curang, sementara Mahfud, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, kini menjadi menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan di mitra koalisi kabinet pengganti Joko Widodo.

Dikatakannya, PDI-P masih sedih karena kalah di Pemilu 2009. Ia mengatakan, begitulah perilaku Demokrat yang tidak banyak bicara di Pemilu 2014 dan 2019. “Kami ikhlas dan menerimanya dengan pikiran terbuka, menilai diri sendiri. Kami tidak menuduh seperti yang selalu dilakukan Hasto,” kata Herzaky.

“Kalau para dosen kabinet dan kawan-kawan yang cukup tahu mengatakan pemilu 2009 curang atau tidak tetap tidak mau didengar, apa lagi yang ingin kita bicarakan?” Dia bertanya.

Catatan Sejarah

Perkara No. 22/PUU-VI/2008 dan 2 /PUU-VI/2008 dikeluarkan dalam hal sistem kepengurusan SBY.

Perkara No. 22, penggugat adalah M. Sholeh, yang merupakan calon dari pemilihan PDI-P di Kabupaten 1 Jawa Timur.

Dalam perkara No. 24, penggugat adalah dua orang kader demokrasi, Sutjipto dan Septi Notariana, dan Jose Dima Satria, yang memberikan suara pada pemilu 2009. Sutjipto dan Septi Notariana menetap di Daerah Pemilihan VIII Jawa Timur.

Salah satu pasal UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang digugat adalah pasal 214.

Masyarakat tidak percaya bahwa dengan adanya pasal ini berarti calon dengan suara terbanyak dalam pemilu harus mendapatkan kursi di pilihan DPR RI Saat itu, metode konversi masih digunakan untuk mengubah suara menjadi kursi parlemen, dengan menggunakan Standar Pembagi Pemilihan (BPP).

Soalnya aturan mengatakan bahwa nomor urut calon lebih penting daripada suara calon. Adapun caleg harus melampaui 30 persen BPP untuk dapat melenggang.

Artinya, sistem daftar proporsional terbuka yang digunakan pada Pemilu 2024 tidak adil. Satu hal adalah bahwa orang dapat memilih dalam jajak pendapat. Namun, pihak DPR bisa menggunakan nomor urut untuk mengetahui siapa yang menjebaknya. Dalam sistem proporsional daftar tertutup, partai cenderung memegang banyak kekuasaan.

“Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut,” kata Sholeh dalam permohonannya.

“Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen,” lanjutnya.

Sholeh tidak menyukai aturan ini, karena berarti pemilihan caleg tidak lagi berdasarkan keinginan rakyat, tetapi atas keinginan pimpinan utama partai dalam politik.

Beda partai beda pemikiran, makanya muncul gugatan. Hanya Demokrat yang berkuasa saat itu yang secara resmi mendukung tuntutan untuk memilih kandidat mayoritas murni. Begitu juga Hanura, Golkar dan PAN.

Pendapat SBY tentang presiden yang diutus ke Mahkamah Konstitusi sebagai sahabat juga mencerminkan pendapat kaum demokrat.

“Siapa pun yang ingin bergabung dengan DPR atau DPD sulit mengkomunikasikan gagasan, pemikiran dan komitmennya kepada rakyat. Sehingga masyarakat percaya bahwa yang terpilih akan memperjuangkan kepentingannya, bukan hanya kepentingan DPR.” kata SBY pada 14 Agustus 2008, dikutip laman setneg.go.id.

Kejaksaan memutuskan bahwa pasal tersebut inkonstitusional karena “bertentangan dengan makna substantif dari kedaulatan negara dalam Konstitusi”.

“Kalau ada dua caleg yang selisih suaranya sangat jauh di titik ekstrim, caleg dengan suara terbanyak kalah dengan caleg dengan suara paling sedikit, karena caleg dengan suara paling sedikit memiliki jumlah suara yang lebih kecil,” tulis Mahfud.

Mereka menyarankan siapa pun yang mendapat suara terbanyak dan tidak memiliki peran memenangkan pemilihan presiden.