Fenomena Identitas Politik Menuju Pemilu 2024
March 3, 2023 12:20:00 pm, Produced By: Hadi Prayogo
Menjelang tahun politik 2024, identitas politik pasti akan menjadi isu yang kembali mendominasi perbincangan masyarakat. Identitas politik dapat diartikan sebagai identitas yang dianut oleh individu atau kelompok dalam melakukan kampanye kandidat calon presiden (capres) atau partai politik tertentu. Fenomena ini sangat penting dalam konteks politik Indonesia karena identitas politik dapat memengaruhi perilaku politik dan keputusan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dalam menjalankan kampanye politik, identitas politik menjadi salah satu alat yang saat ini diusung oleh satu bahkan beberapa capres dan partai politik. Sebagai contoh, saat ini terdapat banyak tindakan identitas politik dari capres dan partai politik yang berlomba-lomba memperoleh dukungan dari berbagai kelompok pemilih. Beberapa contoh tindakan identitas politik yang dapat dilihat adalah dengan memperkuat identitas agama, etnis, atau golongan tertentu dalam kampanye politik mereka.
Identitas politik sendiri dinilai akan terus hadir dalam narasi politik Indonesia menuju Pemilu 2024. Mengapa? Menurut Abd Rasyid Masri, profesor sosiologi dari UIN Alauddin, kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia sendiri belum mampu lepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia sekalipun telah hidup di era demokratisasi terbuka dan digitalisasi modern.
Identitas politik dapat dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya. Identitas politik mengacu pada faktor-faktor pembeda yang dianut atau dialami oleh suatu masyarakat, yang di antaranya dapat berupa ras, kelompok etnis, agama, budaya, dan lain sebagainya.
Istilah identitas politik sudah lama dikontruksi sebagai narasi politik oleh kolompok elite politik tertentu di Indonesia sebagai wacana instrumen untuk menggambarkan rasa kebencian dan ketakutan kalah pada pihak lawan politiknya agar bisa menurunkan citra dan menyudutkan figur tertentu yang biasanya dinilai kuat dan berpotensi menang sehingga perlu disudutkan dengan narasi tidak nasionalis dan intoleran.
Dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam dengan penerbit Guepedia (2022) disebutkan identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu. Identitas politik acapkali dilakukan para politisi untuk memanfaatkan identitas tertentu untuk memperoleh keuntungan politik. Dalam praktiknya, peserta pemilu dianggap memiliki kecenderungan untuk mau memilih atas dasar kedekatan emosional, misalnya saja karena sama-sama berasal dari suatu etnis yang sama, agama yang sama, afiliasi kelompok yang sama, ataupun ormas yang sama.
Kehadiran identitas politik memang lazim terjadi dalam setiap perhelatan politik. Kalangan masyarakat terdidik tentu mahfum dengan kondisi tersebut. Namun, kalangan “pinggiran”, masyarakat kurang terdidik, sering kali larut dengan gelombang protes, huru-hara, serta aksi tanpa memahami esensi dari gerakan-gerakan yang terjadi, yang berpotensi menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.
Identitas politik jelas dapat memicu polarisasi dalam masyarakat. Mereka yang memiliki identitas politik yang sama cenderung berada dalam kelompok yang sama, dan hal ini dapat memperkuat konflik politik horizontal yang mungkin tidak perlu ada. Lalu, mengapa terdapat capres maupun partai politik yang aktif menggunakan identitas politik dalam kampanyenya menuju Pemilu 2024?
Pilpres 2014 dan 2019 dan khususnya Pilkada DKI, menurut pengamat politik, Yunarto Wijaya, tidak dapat serta-merta dilepaskan dari penggunaan identitas politik yang kemudian membelah kelompok satu dengan kelompok yang lain. Identitas politik muncul semakin kuat sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta pada 2017, namun ditampilkan kembali dalam Pilpres 2019. Dalam Pilpres 2019, misalnya tercermin untuk panggilan “cebong” bagi pendukung calon presiden Joko Widodo dan “kampret” untuk pendukung Prabowo Subianto.
Menjelang Pemilu 2024, publik kembali disuguhkan dengan narasi tentang identitas politik. Identitas politik masih menjadi isu yang kerap dimainkan menjelang pemilu karena dianggap sebagai cara yang paling jitu untuk mengaruhi masyarakat karena mengingatkan kembali tentang identitas primordial mereka yang sifatnya mutlak. Fenomena identitas politik ini semakin terlihat dengan perkembangan era digital yang membuat masyarakat semakin mudah terpapar dengan adanya identitas politik yang dibawa oleh capres atau partai politik tertentu.
Sebut saja salah satu sosok kandidat capres pada Pemilu 2024, Anies Baswedan. Mulai dari ia dicalonkan sebagai gubernur pada Pilkada DKI Jakarta hingga capres pada Pemilu 2024 mendatang, isu identitas politik terus mengiringinya, meskipun Anies berulang kali membantah tudingan tersebut dengan mengatakan identitas politik hanyalah persepsi yang muncul tanpa bukti nyata.
Seperti diketahui, Anies Baswedan mulai bergerak melakukan lobi-lobi politik ke beberapa pihak untuk memuluskan jalannya sebagai capres. Cap identitas politik oleh sebagian pihak terhadap Anies Baswedan rasanya sangat kuat melekat kepadanya. Anggapan ini tentu saja sulit dilepaskan darinya mengingat pada Pilkada DKI Jakarta lalu, sejumlah pihak menuding Anies Baswedan memenangkan kontestasi politik tersebut karena memainkan identitas politik.
Dalam konteks identitas politik pada Anies Baswedaan, ruang publik menjadi lahan basah persemaian bibit-bibit identitas politik. Bibit tersebut semakin tumbuh subur dengan keberadaan media sosial yang sangat masif menginfiltrasi masyarakat dan dimanfaatkan betul oleh para elite politik untuk meraih kekuasaan.
Lebih-lebih, hal tersebut kemudian menyuburkan terbentuknya echo chamber media sosial, hal yang membuat informasi yang diyakini kelompok identitas diamplifikasi di lingkup mereka sendiri berdasarkan sistem komunikasi tertutup. Individu tersebut tanpa sadar berinteraksi dalam sebuah ruang eksklusif yang meyakini kebenaran kelompok sendiri dengan meliyankan kelompok lain yang berbeda pandangan. Kondisi tersebut terus bertahan atau berusaha dipertahankan hingga saat ini.
Pilkada DKI Jakarta yang dimenangkan Anies Baswedan dinilai menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan permainan identitas politik di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika cap identitas politik terhadap Anies Baswedan sangat melekat kuat, meskipun ia sebagai pribadi tak pernah secara eksplisit berujar bahwa dirinya pemain identitas politik. Namun, sikap Anies Baswedan yang cenderung membiarkan bahkan hingga titik tertentu menikmati keberadaan identitas politik, membuat dirinya selalu disangkutkan dengan identitas politik dalam konotasi yang buruk.
Belakangan, ia terlihat berusaha keras melepaskan stigma tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan lintas agama seperti meresmikan gereja dan menyambangi vihara. Anies Baswedan terlihat mencoba menarik dirinya lebih ke “tengah”. Namun, sikapnya yang lebih ke “tengah” itu tentu bisa menjadi kerugian tersendiri baginya lantaran segmen terbesar pemilih Anies Baswedan ada di titik kanan dan paling kanan.
Sejumlah pengamat politik memperingatkan bahaya yang dapat muncul jika identitas politik dimanfaatkan dalam Pemilu 2024 yang akan datang. Selain datang dari kandidat capres tertentu, identitas politik juga digunakan partai politik dalam kegiatan kampanyenya. Salah satu partai politik peserta Pemilu 2024, Partai Ummat, bahkan secara terang-terangan menyatakan pilihannya menggunakan identitas keagamaan dalam Pemilu 2024 karena menurutnya dunia politik tidak dapat dipisahkan dari agama.
Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, mengatakan bahwa Partai Ummat secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka akan menggunakan identitas politik dalam menghadapi Pemilu 2024. Menurutnya, tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah. Oleh karena itu, ia merasa agama dan politik perlu disatukan.
Yunarto Wijaya yang juga Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, menilai identitas politik yang sifatnya mengkapitalisasi perbedaan di tengah masyarakat untuk kepentingan politik akan berpotensi membahayakan Pemilu 2024. Penggunaan-penggunaan simbol identitas dianggap akan menurunkan kualitas dari pemilu dan berpotensi memecah-belah bangsa.
Identitas politik sangat berbahaya jika diterapkan dalam masyarakat Indonesia yang bersifat pluralisme. Identitas politik memiliki potensi untuk melahirkan produk politik atau regulasi yang diskriminatif serta mendorong intoleransi politik. Secara ekstrem, akan terjadi pengkotakan di dalam masyarakat berdasarkan latar belakang agama, etnis, suku, budaya, dan identitas lainnya yang dapat memicu terjadinya intoleransi dan konflik komunal yang dapat mengoyak harmoni, persatuan, dan kesatuan di dalam masyarakat Indonesia.
Bahkan, identitas politik bisa saja lebih berbahaya dibandingkan politik uang (money politics) karena dapat berakibat panjang. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, perbedaan semakin nyata, sehingga intoleransi dan disharmoni dapat meledak kapan saja. Konflik disfungsional dan konflik laten juga berpotensi terjadi sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi tidak terkondisikan.
Secara terpisah, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan pihaknya akan memberikan teguran keras kepada Partai Ummat atas pengakuan mereka yang menyebut diri mereka menggunakan identitas politik dalam aktivitas kepartaiannya menuju Pemilu 2024. Lantas, bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia menyikapi praktik identitas politik yang berkembang saat ini?
Sebagai upaya preventif, salah satu cara yang dapat dilakukan agar tidak terjebak ke dalam identitas politik adalah dengan memfilter informasi. Sebaiknya masyarakat yang hendak memilih dalam Pemilu 2024 menempatkan identitas mereka di belakang agar mereka dapat memilih tanpa pengaruh isu-isu primordial seperti ras maupun agama. Sejatinya, yang penting dalam pemilu adalah bagaimana mencari pemimpin terbaik dengan rekam jejak dan gagasan terbaik, yang tidak boleh ditutupi oleh sekadar kesamaan identitas.
Apa pun itu, dan untuk tujuan apa pun juga, penggunaan identitas politik tidak akan pernah bisa dibenarkan. Tentu kita berharap bahwa jangan karena kita berbhineka, cara-cara yang manipulatif, tidak beradab, tidak etis, dan amoral dapat dilakukan dalam segala kegiatan dan aktivitas politik di Indonesia, lebih-lebih menyongsong Pemilu 2024. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman suku, kelompok etnis, agama, dan budaya, sehingga kebhinekaan itu wajib dijadikan sebagai bahan bakar untuk membangun Indonesia secara kolaboratif dan santun.