Pemilu 2024: Setelah Kabar Bohong and Ujaran Kebencian, Kini Ada Deepfake
Sementara pemilu sebelumnya sangat diwarnai oleh kabar bohong dan ujaran kebencian, pemilu 2024 sudah menghadapi ancaman lain bernama deepfake. Tanpa penyaringan konten mandiri yang hati-hati, calon pemilih bisa sulit memutuskan apakah sebuah video mengandung suara asli atau palsu.
Deepfake merupakan teknologi yang berakar inovasi dari kecerdasan buatan. Teknologi ini dapat meniru suara yang terdengar sama dengan suara aslinya. Berkat kemampuan itulah, orang sulit membedakan apakah konten tersebut asli atau palsu.
Pihak yang tidak bertanggungjawab mungkin memanfaatkan deepfake untuk membuat konten palsu dan bahkan menyebarkan rumor tentang kandidat partai politik tertentu yang bertarung di Pemilu 2024. Menurut ahli bidang Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, deepfake bisa membuat seseorang mengucap atau melakukan sesuatu padahal kenyataannya tidak demikian.
Deepfake menstimulasi disinformasi di masyarakat dan diprediksi jumlah konten deepfake akan meningkat tajam pada tahun politik seperti sekarang dan tahun depan. Di antara dampak terburuk adalah tingginya persentase publik yang memilih golput sebab mereka terbagi antara kebenaran dan kekeliruan. Citra kandidat politik tertentu akan ternoda dengan konten palsu dan jika kecenderungan ini tumbuh, masyarakat akan mempunyai sentimen buruk terhadap keseluruhan kandidat politik.
Berbicara kepada kantor berita Antara, Firman meminta publik untuk tidak bergantung pada satu sumber. “Jadi masyarakat perlu mengkombinasikan sumber-sumber informasi, tidak hanya pada satu macam saja,” kata Firman dikutip dari laman Antara, Rabu (15/3/2023).
Dia meminta masyakarat memilih informasi lebih baik dan tidak langsung mempercayai satu sumber informasi. Cara ini sangat membantu dalam mencegah filter bubble atau echo chamber yang dihadirkan oleh algoritma.
“Dia masuk ke sebuah ruangan yang sudah berisi dengan informasi-informasi sejenis. Dia mengira itulah kenyataan tentang kandidat yang saya dukung, padahal kalau kita pakai sumber informasi yang lain, itu bisa jadi bunyinya akan lain, dan itu perlu keterbukaan pikiran untuk memahami,” pungkasnya.
Mengakses beragam sumber informasi bisa diterapkan, salah satunya, untuk mengetahui kandidat politik yang berkompetisi pada pemilu untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dia menyarankan publik tidak bergantung pada penyebaran informasi melalui internet dan media sosial. Dengan pengetahuan yang lengkap tentang kandidat yang mereka dukung, masyarakat akan lebih mudah mengenali apakah suatu konten meragukan atau ganjil.
Verifikasi konsisten oleh pers
Pada saat bersamaan, media arus utama harus secara rutin menegakkan proses verifikasi. Ini merujuk pada pengawasan pembuatan berita sembari mencegah bahaya apa saja yang disebabkan oleh informasi manipulatif yang memakai teknologi deepfake.
Firman mengatakan bahwa pers harus mengkonfirmasikan ulang pernyataan di dalam konten, apakah dalam bentuk video atau foto. Media harus menanyakan dan memverifikasi informasi tersebut ke obyek berita agar bisa menyampaikan kebenaran ke publik.
“Jadi bukan hanya berpatokan pada satu material. Oh ini omongannya dia dan ada videonya, tapi itu tidak cukup. Teknologi bisa menirukan itu semua. Jadi harus dikonfirmasi. Artinya para jurnalis harus mengenali objek informasi itu lebih dalam,” kata Firman.
Dengan kredibilitas yang tinggi, media akan tetap menjadi referensi bagi masyarakat tentang informasi yang tepat mengenai Pemilu 2024. Sifat tersebut akan sangat signifkan memberantas disinformasi, misinformasi, berita bohong, dan deepfake yang ditemukan dalam konten manipulatif.