Waspada Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024
March 23, 2023 2:10:00 pm, Produced By: Budi Wahyu
Agama dan politik merupakan dua entitas yang saling tarik-menarik, berkaitan dan kadang bertolak belakang. Tidak mengherankan baik agama maupun politik, keduanya bisa menjadi semacam alat bagi para elit untuk menggunakannya. Meletakkan agama dalam perpolitikan Indonesia nampaknya menjadi suatu hal yang lumrah dan sering terjadi. Ini bisa menjadi pengingat sekaligus bumerang.
Agama berperan dalam mengkonstruksi dan memberikan kerangka nilai serta norma dalam membangun kedisiplinan masyarakat dan struktur negara. Negara sendiri menggunakan agama untuk bisa melegitimasi dogmatik untuk mengikat warganya agar mematuhi aturan-aturan yang ada, kutip dari Relasi Antara Agama dan Politik.
Melalui penjelasan itu saja, sudah jelas jikalau pengaruh agama memang kuat terhadap politik. Agama menjadi acuan dan norma untuk membangun kedisiplinan negara dan pemerintahannya. Seperti, sumpah jabatan dengan kitab suci yang selalu dilakukan Presiden dan wakilnya, serta jajaran pejabat lainnya saat ditunjuk menempati posisi sebagai kepala negara dan wakil rakyat. Berkat agama, hal tersebut bertujuan supaya para pejabat pemerintahan agar tidak melanggar norma dan aturan yang sudah ditetapkan.
Namun, bagaimana jika agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik tertentu? Sebelum mengaitkannya dengan agenda pemilu 2024, tentu kita ingat dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kasus penistaan agama yang terjadi padanya menuju Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi alat politik ampuh dalam menjatuhkannya.
Ahok dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya dengan embel-embel “penistaan agama.” Ahok yang melakukan penistaan agama mengenai surat Al-Maidah Ayat 51 dalam pidatonya ketika itu mendapatkan hukuman penjara selama 2 tahun. Pro dan kontra juga bergulir dikalangan akademisi yang membela kepentingannya masing-masing. Dari kasus tersebut saja sudah terlihat bahwa politisasi agama punya peran besar dalam menjatuhkan Ahok.
Agama nampaknya menjadi sasaran empuk dalam komoditas politik. Politisasi agama yang menjadikan agama sebagai sarana dan insturmen dalam mencapai tujuan politik tertentu ini bisa membuat perpecahan dan prasangka buruk. Di mana seharusnya agama menjadi faktor persatuan.
Menurut Dosen Progam Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Achmad Munjid, politisasi agama yang mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 itu akan sulit hilang dan bisa digunakan lagi dalam pileg dan pilpres 2024.
Budaya semacam ini memang seharusnya hilang, terlebih dalam pemilu 2024 yang berlangsung secara serentak dengan pemilihan presiden dan wakilnya serta lembaga legislatif. Kampanye terselubung yang biasanya banyak terjadi dilakukan di tempat-tempat beribadah seperti masjid dan gereja. Menjadi bukti menjamurnya politisasi agama yang mungkin akan terus ada di Indonesia.
Wakil Presiden RI (Wapres) Ma’ruf Amin sendiri telah mengkritik dan melarang kepada pimpinan partai politik maupun relawannya untuk tidak bernafsu melakukan agenda kampanye di masjid.
“Kepada pimpinan partai politik dan juga relawannya supaya tidak bernafsu untuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye,” kata Ma’ruf, Senin (20/3/2023).
Menurutnya masjid haruslah menjadi tempat ibadah dan kegiatan sosial saja bukan tempat kampanye. Hal tersebut juga sejalan dengan peraturan larangan kampanye di tempat ibadah yang sudah disampaikan oleh Bawaslu.
Pengunaan rumah ibadah sebagai politik praktis ini bisa menjadi pemicu keterbelahan masyarakat, mengingat biasanya kampanye dilakukan untuk menyajung atau menjelekkan seseorang termasuk para calon.
Lantas, bagaimana mencegah politisasi agama?
Pencegahan politisasi agama sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk diri kita sendiri. Kalau sikap antisipasi politisasi agama dari pemerintahan ini bisa dilakukan dengan upaya pengontrolan. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.
Di mana dirinya melakukan upaya untuk mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agama (Kemenag), serta Kepolisian melakukan upaya-upaya secara optimal untuk mencegah politisasi agama.
Salah satunya berupa membuat kajian dan analisa guna mengantisipasi berita hoax terkait isu SARA dan rumah ibadah agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu agama yang sangat rawan dimanipulasi untuk kepentingan politik, serta menjaga kebersamaan dengan meningkatkan toleransi keagamaan agar tercipta stabilitas sosial di masyarakat,” ungkap Ketua DPR dalam asutunews.
Sementara, sikap antisipasi politisasi agama dari diri sendiri bisa dilakukan dengan melakukan upaya menyaring berbagai bentuk informasi yang kita terima terkait pemilu 2024. Serta terus menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi keagamaan demi mencapai pemilu 2024 yang damai dan bersih.